“Ketika ketulusan cinta dan kesucian niat telah dipatahkan begitu saja
oleh keadaan, langkah terakhir hanyalah ikhlas. Mengikhlaskan semua yang
terjadi dan melihatnya berjalan sesuai dengan kehendak Allah. Pahit
memang, perih tentu.”. Hanya sebuah ratapan dari gadis kecil yang tak
berdaya, aku.
Sebut saja aku Elis. Aku terkenal pendiam di
desaku. Aku adalah gadis yang kini beranjak dewasa. Sejak kecil aku
jarang keluar dan lebih banyak menghabiskan waktu di rumah. Tapi jangan
salah, aku selalu aktif jika ada kegiatan di desaku. Seperti karang
taruna, yasinan, dhiba’, atau kegiatan positif yang lain. Sejak aku
menginjak SMP, aku sudah menjadi anggota dari karang taruna di desaku.
Saat itu, aku mengagumi seorang lelaki yang sangat tampan, menurutku.
Namanya Mas Roni. Pawakannya yang tinggi, kulitnya yang putih, alisnya
yang tebal, bonus aura cerah yang selalu keluar dari parasnya. Tidak
hanya tampan, tetapi juga baik, dewasa, bijaksana, pintar, dan pekerja
keras. Dan yang paling penting, dia rajin beribadah dan tata kramanya
bagus. Mapan dengan usahanya sendiri adalah bonus. Ya. Walaupun dia anak
orang berada, tetapi dia sudah mandiri dari kecil. Mana ada wanita yang
tak terkesima dengan lelaki model seperti ini? Apalagi di zaman
sekarang, para wanita lebih banyak mengingikan pria yang bisa mengayomi
dan bertanggung jawab. Mungkin hanya satu kekurangannya menurutku, dia
agak kurus. Dan… usia kami terpaut cukup jauh. Kami saling mengenal
sejak kecil. Kegiatan di karang taruna membuat kami sering bertemu. Dia
sering menggodaku dengan berbagai rayuan dan perhatiannya. “Duh… kenapa
orang ini? Bikin GR aja. Nggak mungkin dia suka sama aku. Aku terlalu
muda untuknya.”, batinku saat itu. Walaupun sebenarnya jauh di lubuk
hatiku memendam rasa bahagia yang tak terkira. Sebenarnya aku agak lupa
kapan tepatnya aku mulai mengaguminya sampai aku jatuh hati kepadanya.
Banyak orang mengatakan perasaan mengagumi itu tidak akan bertahan lama.
Kata siapa? Aku masih menganguminya, sampai…
***
Kini aku
sudah beranjak dewasa. Aku sudah duduk di bangku SMA kelas 3. Saat itu
aku sudah tidak lagi menjadi anggota, tetapi bendahara di karang taruna.
Dan dia yang menjadi ketuanya. Kebetulan bertepatan menjelang HUT RI.
Karang taruna kami berencana menyelenggarakan acara Agustusan untuk
memeriahkannya. Segala persiapan untuk lomba dan pensi kami lakukan.
Kesempatan itulah yang membuat kami semakin dekat karena seringnya
bertemu dan berinteraksi. Tak jarang dia mengajakku keluar, walau hanya
sekedar makan atau jalan-jalan. Tetapi, aku menolaknya. Aku tidak enak
kalau sampai ada tetanggaku yang mengetahuinya. Bisa-bisa timbul gosip
yang tidak-tidak. Dan yang membuatku tercengang, dia sempat
mengungkapkan bahwa dia benar-benar serius kepadaku dan ingin melamarku.
“Aku sayang sama kamu, dek.”, katanya sambil menggenggam kuat tanganku. Wajahnya berubah serius.
“Hahaha, apa sih mas ini.”, jawabku sambil tertawa. Aku berpura-pura santai. Padahal dag dig dug der sekali hatiku saat itu.
“Aku serius.”, sahutnya.
Aku belum berkata apa-apa, dia sudah kembali berbicara. “Aku mau ngelamar kamu.”
Aku
melihat keseriusan tampak di matanya. Kali ini aku benar-benar tidak
bisa berkata apa-apa dan tak sanggup lagi untuk menatap matanya. Aku
benar-benar luluh dibuatnya. Perasaan kaget, tidak percaya, dan bahagia
bercampur menjadi satu dengan porsi dominan bahagia. Aku pulang memberi
tahu hal membahagiakan ini kepada ibuku. Dan lebih membahagiakan lagi
ketika mendengar ibuku menyetujuinya. Dia memang calon menantu idaman
ibuku. Dan aku tentunya. Bukannya aku pilih-pilih dalam mencari
pasangan, hanya saja aku takut salah pilih. Karena pasanganku adalah
orang yang akan menjadi pemimpinku kelak. Jadi, aku mencoba untuk
sedikit selektif dalam memilihnya. Dan sosok seperti Mas Roni lah yang
aku impi-impikan menjadi imamku. Aku percaya mimpiku itu akan segera
menjadi nyata.
***
Pagi dalam gelap. Suara ayam berkokok
bagaikan nyanyian wajib dikumandangkan untuk menyambut pagi. Ditemani
alunan irama suara burung yang riang. Tetapi, bukan suara-suara itu yang
membangunkan pagi itu. Melainkan suara ramai dari ibu dan para
tetanggaku yang membicarakan tentang kabar yang menyeramkan. Aku
mengumpulkan nyawaku dan mulai mencoba mendengarkan pembicaraan mereka.
Samar-samar aku mendengar kata kecelakaan. Dan… mereka menyebut nama Mas
Roni. Langsung saja aku bangkit dari tidurku dan bergegas keluar
menghampiri arah suara tersebut.
“Buk, ada apa?”, tanyaku tak santai.
“Kecelakaan.”, jawab ibuku seraya menapku.
“Siapa? Siapa yang kecelakaan?, aku mulai panik.
“Roni.”, jawab ibuku lirih.
Tanpa
berkata apapun aku langsung berlari ke kamar dan mengunci pintuku. Aku
bersandar di pintu, butiran air mata keluar dengan derasnya. Tapi aku
menahan suara tangisku, aku tak mau sampai tetanggaku mendengarnya.
Sore harinya, aku berangkat ke rumah sakit bersama sepupuku dengan diantarkan oleh kedua teman Mas Roni.
Sesampainya
di rumah sakit, sebelum aku melihat kondisinya, aku bersalaman dengan
sanak saudaranya yang berada di situ. Tak lama, kemudian aku masuk
melihat kondisinya. Aku hanya terdiam melihat kondisi lelaki yang berada
di kamar rawat itu. Sosok yang selama ini menemaninya dan mengisi
hari-harinya, kini dijumpainya dengan keadaan yang memprihatinkan.
Selang infus terpasang di tangannya. Lehernya dibalut dengan kain
berwarna coklat yang aku tak tau apa namanya. Dan yang paling membuatku
benar-benar seperti kehilangan separuh nyawa adalah mengetahui bahwa
tulang kakinya patah. Dia menyuruhku duduk di sampingnya. Dia masih
riang seperti biasa, tertawa dan mengajakku bercanda, seperti tak
menahan sakit apapun di badannya.
Alhamdulillah tak sampai seminggu
dia sudah diizinkan pulang. Baru beberapa hari, dia sudah terlihat pergi
ke masjid untuk melakukan sholat Jum’at. Dengan penyangga kaki yang
membantunya, dia berjalan ke masjid. Subhanallah. Terharu bercampur
terkesima aku melihat lelaki itu. Lelaki model apa yang Kau ciptakan ini
Ya Allah? Akankah dia benar-benar menjadi imamku? Semoga Engkau
mengabulkan Ya Allah… Aamiin… Sepenggal do’aku saat itu.
***
Sore
beranjak malam. Matahari telah hilang ditelan bumi. Suara adzan pun
berkumandang. Aku bergegas mengambil air wudlu dan melaksanakan perintah
Allah. Selepasnya, seperti biasa aku melanjutkan membaca Al-Qur’an.
Selepasnya, aku bersila di depan laptop kesayangan. Tak lama kemudian
ibuku datang. Duduk di sampingku. Ibuku memulai percakapan.
“El, gimana keadaan Mas Roni?”, tanya ibuku.
“Katanya udah baikan Bu.”, jawabku sambil menyalakan laptop.
“Alhamdulillah…”, kata ibuku.
“Iya, Alhamdulillah Bu… Semoga dia cepet sembuh.”, kataku sambil memeluk ibuku.
“Aamiin…”, ucap ibuku. Kemudian aku melepaskan pelukanku. Kami hening sejenak.
“El…”, panggil ibuku.
“Iya, Bu…”, aku menjawab.
“Tadi
malam ayahmu cerita kalau sebenarnya Mas Roni lebih dulu berbicara
dengan ayahmu tentang niatnya untuk melamarmu.”, ibuku mulai
menjelaskan.
“Terus, Bu… Terus?”, tanyaku semangat.
“Sebenarnya
ayahmu setuju dengan hal itu. Tetapi, setelah ditelusuri silsilah
keluarga, ternyata kamu masih ada hubungan darah yang melarang kalian
untuk menikah.”, jelas ibuku.
Seketika hatiku hancur. Seperti ada
duri tajam yang menusuk dalam ke dalam hatiku. Dadaku sesak menahan air
mata yang berlomba-lomba ingin menetes. Tetapi, aku tidak bisa
melakukannya di depan ibuku. Aku juga tidak bisa membantah. Aku tidak
bisa menentang takdir.
Tak ada satu katapun yang keluar dari mulutku.
Ibuku seperti mengerti bagaimana sakitnya perasaanku saat itu. Aku
masih tak percaya. Bagaimana mungkin ketulusan cinta dan kesucian niat
kami yang selama ini bisa dipatahkan begitu saja oleh keadaan? Keadaan
yang membuat aku dan dia tidak bisa bersatu. Keadaan yang memaksa kami
untuk membuyarkan cinta tulus dan semua impian indah yang telah terukir.
Akhirnya, mau tidak mau kami memutuskan untuk berpisah. Demi kebaikan
kami berdua dan juga kebaikan keluarga kami.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar